Oleh Berly Marten, S.S
Dir. LKP MADOTO ENGLISH COURSE & PEGIAT LITERASI
Menafsirkan kata “merdeka” dari teks realitas hidup berbangsa dan bernegara adalah sesuatu yang sangat penting pada usia HUT RI saat ini. Merdeka dalam pandangan “hermeneutik” memberi ruang pertanyaan yang harus dimaknai dalam kehidupan kita. Ini artinya kita mencoba menafsirkan makna kemerdekaan yang lebih jauh, bukan hanya secara legal linguistik dan ruang politik, tetapi lebih daripada itu adalah makna yang terkandung di dalamnya.
Setiap tanggal 17 Agustus, kita selalu merayakan Hari Ulang Tahun Bangsa kita. Merayakan karena atas dasar pengakuan dari negara lain untuk menjadi bangsa yang merdeka dari belenggu penjajahan. Kemerdekaan dimaksud adalah peristiwa sebuah teks historis dan kultural perjuangan yang harus terus kita gaungkan dan tafsir ulang sebagai generasi masa kini dari generasi perintis atau “founding fathers” yang berjuang untuk memerdekakan bangsa ini yang bebas dari penjajahan fisik.
Kemerdekaan ke-80 Tahun Bangsa kita sudah harus mampu menjawab tantangan-tantangan untuk bebas dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Karena itu, mereduksi kata “merdeka” sebagai proses dialogis dalam pendekatan makna hermeneutika, adalah pemahaman yang harus dikaji melalui dialog antara teks sejarah kemerdekaan dan perjuangannya.
Maka, kemerdekaan dipahami bukan sebagai konsep yang statis, melainkan hasil percakapan yang terus-menerus antara nilai sejarah dan tantangan zaman. Merdeka harus menekankan pada kebebasan rakyat menafsirkan hidupnya sendiri. Maka, merdeka bukan hanya lepas dari belenggu luar, tetapi juga kemampuan untuk menafsirkan, memilih, dan menentukan arah hidup secara autentik. Merdeka dalam pendidikan, merdeka tanpa korupsi, merdeka tanpa penindasan terhadap rakyat kecil, merdeka hidup sejahtera, merdeka dalam politik dan kebudayaan.
Dalam tafsir hermeneutik, merdeka bukan sekadar bebas dari sesuatu, tapi juga bebas untuk mewujudkan keadilan, kebudayaan, dan martabat manusia. Artinya, kemerdekaan selalu punya dimensi etis dan praksis untuk membangun kehidupan yang lebih adil, manusiawi, dan bermartabat.
Jadi, merdeka dalam pandangan hermeneutik adalah kebebasan yang dipahami sebagai proses penafsiran terus-menerus yang lahir dari sejarah, konteks sosial, hingga pengalaman hidup. Merdeka bukan hanya “bebas dari penjajah,” melainkan “bebas untuk menafsirkan dan menghidupi nilai-nilai kemanusiaan secara otentik dan berkeadilan.”
Semoga tema resmi peringatan HUT RI ke-80 (17 Agustus 2025) “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”. Bisa benar-benar terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan mampu menjawab persoalan-persoalan bangsa yang terjadi saat ini atas nama kemerdekaan.
Merdeka.
Merdeka.
Merdeka.